Senin, 22 Oktober 2007

BOGOR TUNAS PAJAJARAN

1. Masa Tilem

Waktu antara "Pajajaran sirna" sampai "ditemukannya kembali" oleh ekspedisi Scipio (1867) berlangsung kira-kira satu abad. Kota yang pernah berpenghuni sekitar 48271 jiwa ini ditemukan sebagai "puing" yang diselimuti oleh hutan tua (geheel met out bosch begroeijt zijnde; 1703). Untuk jamannya, Bogor merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak (berpenduduk 49197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.

Pakuan tersisih dari percanturan hidup. Kemewahan yang ditampilkan oleh penghuni keraton dalam masa Nilakendra hanyalah ibarat KOBARAN API LILIN MENJELANG PADAM. Setelah raja tidak lagi berdiam di ibukota, maka kehidupan Pakuan sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir. Panembahan Yusuf dari Banten memadamkannya "secara resmi" walaupun sebenarnya ia sudah berhasil mengakhiri kekuasaan Raga Mulya (Suryakancana) di Pulasari sebelum itu.

Masa silam yang lebih sering memantulkan gema yang kabur, proyeksinya dapat kita lihat dalam lakon pantun dan babad. [Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri yang mengantarkan Scipio jelas baru terpisah satu abad dengan kehidupan Pakuan. Tanggal 1 September 1687 itu mereka menjadi peziarah pertama di puing Kabuyutan Pajajaran yang mereka duga sebagai singggasana raja.

Dalam tahun 1703, Abraham van Riebeeck sudah melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Jadi sejak ditemukan oleh rombongan Scipio, orang merasa "bertemu kembali" kembali dengan Pajajaran yang telah hilang.

Tahun 1709, Van Riebeeck melihat ladang baru pada lereng Cipakancilan. Tanda kehidupan baru di bekas Pakuan mulai muncul. Mudah diperkirakan bahwa peladang itu akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan yang tidak kelihatan oleh Van Riebeeck karena ia berkuda pada jalur jalan Pahlawan yang sekarang]

Lain lahan lain pikiran. Pakuan bukan hanya lahan melainkan juga kenangan. Lahannya "dihidupkan kembali" tetapi kerajaanya takkan kembali. Inilah yang dirindukkan dan disenandungkan oleh para pujangga dalam karyanya setiap kali gema Pajajaran menyentuh hati mereka "Geus deukeut ka Pajajaran ceuk galindeng Cianjuran Jauh keneh ka Pakuan ceuk galindeng panineungan" (Sudah dekat ke Pajajaran menurut lantun Cianjuran Masih jauh ke Pakuan menurut lantun Kenangan) Pakuan terasa dekat, tetapi tak kunjung sampai. Kedekatan batin terhadap Pajajaran ini akhirnya menjelmakan gagasan PAJAJARAN NGAHIANG atau PAJAJARAN TILEM seperti orang Ciamis yang kehilangan Galuhnya mencetuskan DUNIA ONOM.

"Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun"
(Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang)
Ini adalah kata-kata orang tua yang tidak mau kehilangan Pajajarannya, bahkan mereka berani menghibur diri dengan berkata:

"Ngan engke bakal ngadeg deui"
[Suatu saat akan berdiri kembali)

2. Tanudjiwa peletak dasar Negeri Bogor

Riesz. dalam "De Geschiedenis van Buitenzorg" (1887) menjelaskan bahwa TANUDJIWA adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka Hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian. [Tanudjiwa dalam catatan VOC disebut "Luitenant der Javanen" (Letnan orang-orang Jawa dan merupakan Letnan Senior diantara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanudjiwa pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama TANAH BARU]

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan oleh Tanudjiwa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya. Tanudjiwa pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. [Sementara itu daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang MATARAM yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan BAHUREKSO, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh SUNAN AMANGKURAT I tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia].

Rasa hormat Tanudjiwa terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

[Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa
MENAK KI MAS TANU dalam lirik lagu AYANG-AYANG GUNG itu dimaksudkan Tanudjiwa ini. Entahlah, akan tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanudjiwa dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya. Ia ditunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan.

Rupa-rupanya kedekatan batin Tanudjiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seorang letnan tetap harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanudjiwa dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Orang dulu menyindir Tanudjiwa dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (ia mengejar harapan kosong dan bermesraan dengan orang tidak bergigi) Yang dimaksudkan dengan "orang tidak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan.

Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanudjiwa sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan MENTENGKARA atau MERTAKARA kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718). Ia adalah putera Tanudjiwa (menurut De Haan). Sebaliknya para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanudjiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

Pengalaman Tanudjiwa dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman UNTUNG SURAPATI. Akan tetapi, jika benar lirik "Ayang-ayang Gung" diciptakan untuk menyindir Tanudjiwa, maka kita patut merenungkannya kembali].

Tahun 1745, 9 distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar DEMANG. Gabungan 9 distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan 9 baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.


3. Letusan Gunung Salak

Pada malam hari tanggal 4/5 Januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menceritakan keadaan yang diakibatkannya: "Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang disebut Pakuan yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan yang luas dan terbuka tanpa pohon-pohonan sama sekali.

Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus, seperti yang biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat- tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki.

Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya".

Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang bebebrapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.

Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ram & Coops dalam tahun1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survey ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan Puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan, bahwa tanah yang terbelah hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane. [Panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ni adalah merupakan hadiah yang ditinggalkan oleh letusan Gunung Salak].

Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar Ram & Coops. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa-apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Tahun 1704 Van RiebeecK mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.

4. Kopi membuka Cakrawala Baru

Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, diantaranya:
Daerah Produksi, (Pikul)
Kampung Baru, 61 000
Kedung Badank, 1 596
Cipamingkis, 43 825
Cianjur & Jampang, 59 900
Cibalagung, 5 750
Cikalong, 4 350
Bekasi, 482
Jati Nagara, 8 450
Cibadak (Cipamingkis), 250
Pager Wesi, 800
Tangerang, 1 800

Melihat hasil yang baik ini, maka sejak 15 April 1723 tanaman kopi diwajibkan juga di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut "SISTEM PERIANGAN" (PREANGER STELSEL) yang berlangsung 2 abad lamanya. Tahun 1724, Wiranatu III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1 216 257 pikul (berharga 202 271,25 ringgit).

Tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel", selain kopi adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Akan tetapi, saat itu kopi menjadi komoditi utama karena laku keras di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda jamannya Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Perancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa barat mendapat julukan GABUS PELAMPUNG PEMERINTAH HINDIA BELANDA DI INDONESIA. Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini. [Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut CULTURSTELSEL]

5. Bogor "sirung" Pajajaran

Di lokasi Istana Bogor sekarang, mula-mula dibangun sebuah bangunan sederhana oleh van Imhoff yang dimaksukan untuk singgah istirahat dalam perjalanan dari benteng Batavia ke Cipanas (jadi menurut penulis adalah kurang tepat kalau menyebut Istana Bogor itu gagasan van Imhoff). Van Imhoff sendiri merencankan membuat istana di Cipanas. Di Cipanas pula didirikan Rumah Sakit Militer waktu itu. [Baron van Imhoff adalah tipe khusus kaum elite terpelajar eropa barat abad ke-18 yang umumnya cenderung kepada liberalisme Perancis dan penganut setia faham ROMANTISME ajaran Rosseau. Ajaran ini menhanjurkan manusia kembali kepada alam dan peradaban dianggap sebagai "racun bagi kemurnian manusia.

Mode kaum cendikiawan Eropa Barat waktu itu adalah mencari tempat-tempat yang sepi-hening. Mencari daerah yang kalau mungkin belum dijamah oleh tangan peradaban sehingga dapat digunakan sebagai tempat persembunyian di mana kesibukan tidak mungkin mengejarnya. Dengan penuh kerinduan mereka mengaakrabi tampang alam dan dengan demikian mereka menikmati kehadiran dirinya sebagai bagian dari alam itu.

Mode para pencari kewajaran alami ini adalah membangun vila sederhana yang mungil dan serasi dengan alam sekitarnya. Tempat-tempat seperti ini dinamakan SANS-SOUCI, kata berbahasa Perancis yang berarti TANPA KESIBUKAN atau TANPA-URUSAN. Orang-orang belanda menerjemahkan nama tersebut ke dalam bahasa mereka menjadi BUITENZORG]

Demikianlah bangunan sederhana yang didirikan van Imhoff pada lokasi Istana Bogor yang sekarang diberinya nama BUITENZORG mengikuti mode yang sedang berkembang di negaranya. Karena suasana di benteng Batavia yang selalu sibuk, penuh sesak dan kepengangan udara yang berasal dari muara Ciliwung, para Gubernur Jenderal sangat senang dengan adanya Villa Buitenzorg itu.

Dengan Surat Keputusan Dewan Direksi VOC di Amsterdam tanggal 07.06.1745, lahan di sekitar Buitenzorg yang diusulkan van Imhoff dijadikan "eigendom" van Imhoff dan para Gubernur Jenderal, selanjutnya "in officio". Dengan demikian Tanah Buitenzorg itu dijadikan semacam TANAH BENGKOK yang harus dibeli oleh tiap Gubernur Jenderal baru kepada pejabat lama yang digantikannya. [Jacob Mossel adalah pembeli pertama kali dari van Imhoff dengan harga 5500 ringgit. Pembeli terakhir adalah Daendels dalam tahun 1808 seharga 39000 ringgit. Tetapi dengan alasan "gajinya tidak cukup" ia secara licik menjualnya kepada pemerintah yang dikepalainya dengan harga 360000 ringgit.

Batas-batas Tanah Buitenzorg adalah Puncak Gunung Gede - Puncak - Talaga Warna - Mega Mendung - Ciliwung - Muara Cihideung - Puncak Gunung Salak - Puncak Gunung Gede.

Dengan tanah seluas itu, maka tiap Gubernur Jenderal VOC yang resminya hanya Ketua Dewan Hindia dalam jaringan dagang Kumpeni Belanda di Timur Jauh, langsung menjadi LANDVOOGD (tuan tanah). Ia boleh menyewakannya, tetapi tidak boleh menjualnya kecuali kepada pejabat
yang menggantikan kedudukanya].

Van Imhoff adalah pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistem PENCETAKAN SAWAH. Di samping untuk mempertinggi hasil padi, ia juga ingin mengikat penduduk kepada pemukiman tetap. Lewat keputusan tanggal 10 Agustus 1745, ia menetapkan bahwa sejauh 10 jam perjalanan dari rumah Buitenzorg ke arah hulu (Ciliwung) tidak boleh ada "gaga atau Tipar". Politik sawah van Imhoff mulai dilaksanakan di Cisarua.

Lewat kemungkinan penyewaan Tanah Buitenzorg, maka mulailah lahan antara Ciliwung dengan Cisadane (pada lokasi bekas Kota Pakuan) dihuni orang. Berkembanglah pula perkebunan kopi, lada dan tarum.

Dokumen Belanda menunjukkan bahwa tahun 1752 sudah ada KAMPUNG BOGOR di bawah kekuasaan Kepala Kampung Baru. Jadi penduduk yang tinggal tidak jauh dari rumah Buitenzorg itu tidak termasuk Rakyat Gubernur Jenderal, melainkan tetap menjadi rakyat Bupati di Kampung Baru. Tahun 1754 Bupati Kampung Baru mengajukan permohonan kepada Mossel agar diizinkan menyewa Tanah Sukahati untuk kediamannya. Dokumen tertanggal 29 Desember 1761 nomor 9092 memberitakan, bahwa Bupati Kampung Baru (Natanagara) sudah berkedudukan di Sukahati. [Kemungkinan besar, Demang Wiranata (1749 - 1758) sebagai bupati pertama juga sudah berkedudukan di sana. Sebelumnya, Demang Wiranata (adik Wiranatu III, Dalem Dicondre) adalah Patih Cianjur. Ia dikenal baik Kumpeni karena merupakan salah seorang pelopor perkebunan kopi di Jampang]

Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan, bahwa kediaman bupati di Sukahati itu terletak di sebelah timur Cisadane dekat muara Cipakancilan, berdiri di atas lahan yang termasuk dalam kawasan Buitenzorg di sebuah lembah dan di depannya terdapat sebuah empang atau kolam besar ("vijver"). [Bila demikian, sejak tahun 1770-an (sebelum taun 1775) nama Empang sudah mulai muncul dan berangsur-angsur mendesak nama Sukahati] Dokumen 28 November tahun 1815 secara resmi sudah menyebut tempat itu dengan nama EMPANG. Catatan tahun 1816 melukiskan, bahwa rumah itu terdiri atas dua bangunan tempat tinggal yang dihubungkan dengan galeri, terbuat dari kayu bukan jati, berlantai PALUPUH (bambu) dan sebuah paseban terbuat dari kayu serta beratap genting.

[Sebuah lukisan rumah di Sukahati pada masa G.J. Van der Parra (1761 - 1775) menunjukkan, bahwa bila orang berdiri di bawah jembatan kereta api Pasar "Ramayana" yang sekarang, maka tatapannya akan tepat berhadapan dengan rumah tersebut. Di luar pagar alun-alun di depan rumah tersebut ada sebuah kolam besar. Yang penting di sini, bahwa Rumah Bupati itu didirikan pada tepi bekas alun-alun luar Pakuan].

Dengan kepindahan bupati dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang), kesibukan urusan pemerintahan pun berpindah. Terbukalah salah satu sumber penghasilan baru bagi Gubernur Jenderal yang memiliki tanahnya. Pasar (seminggu sekali) segera dibuka dan menjadi ramai. Dalam tahun 1777 dari penghasilan tambahan Gubernur Jenderal yang sebanyak 14000 ringgit, ternyata 8000 ringgit berasal dari hasil sewa pasar, selebihnya dari 4 sumber lain. Pasar ini "tumbuh" dekat kampung Bogor sehingga namanya pun sampai sekarang masih bertahan dengan sebutan PASAR BOGOR.

Kemajuan pasar mengundang para pedagang untuk bermukim, termasuk orang-orang Cina. Mula-mula para pedagang ini menempati lereng Ciliwung di daerah Lebak Pasar. Baru kemudian berangsur-angsur ada yang merayap naik ke sepanjang Jl. Suryakancana. Tumbuhnya pasar pada lokasi itu mudah di mengerti karena semua hasil bumi (tanaman) wajib diangkut ke "gudang" pada lokasi jajaran Toko HINDIA. Dari situ, para petani yang baru saja menerima uang singgah di pasar.

Untuk mendekati lokasi pasar ini, KAUM PALEDANG (pandai tembaga) mendirikan pemukiman pada lokasi Kebun Palem dekat lokasi Kantor Pos yang sekarang. Kampung ini kemudian dipindahkan ke Kampung Paledang yang sekarang (di seberang Kantor Pos) sewaktu lokasi asal dimasukkan ke dalam bagian Kebun Raya Bogor. Embah JEPRA adalah pemimpin kaum paledang tersebut (makamnya ada di dalam Kebun Raya Bogor).

Bila kita perhatikan, kampung-kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti pertumbuhan Kota Bogor, yaitu Lawang Gintung (yang pertama), Lebak Pasar, Baranangsiang (dekat Pulo Geulis), Bogor, Gudang dan Sukahati (sekarang Empang), semuanya terletak pada lahan yang "menempel" pada tepi bagian luar bekas benteng Pakuan. Tempat-tempat itu tumbuh laksana SIRUNG (tunas pohon) di sekitar tunggul pohon induknya. Pertumbuhan Kota Bogor itu seolah-olah "berakar" pada sisa-sisa benteng Pakuan. Selain itu, para penghuni Kota Bogor masa itu mampu pula menghasilkan "karya besar" seperti penghuni Pakuan di masa silam. Karya yang dimaksud adalah MEMBELAH ALIRAN CISADANE pada tahun 1775. [Sebagian air yang mengalir di Cisadane, dialirkan ke Cipakancilan. Kemudian muara Cipakancilan (pada tepi Cisadane) dibendung dan disalurkan lewat kanal baru (sungai buatan). Dengan pengalihan alur Cipakancilan ini, maka terbentuklah EMPANG PULO yang dikelilingi air dari tiga penjuru beserta bekas alur Cipakancilan pada sisi yang ke empat. Alur Cipakancilan sendiri dipecah dua lagi dengan kanal Cidepit yang alirannya diarahkan ke Ciliwung. Pada hari Selasa tanggal 6 Agustus 1776, untuk pertama kalinya air Cisadane dapat bertemu dengan aliran Ciliwung]

Untuk memahami karya besar ini, silahkan berjalan sepanjang Jalan Paledang antara Tanjakkan Pala dengan Jembatan Merah. Saluran buatan itu sangat lebar dan dalam. Itupun baru sepenggal dari karya besar mereka yang dikerjakkan selama satu setengah tahun di bawah pimpinan ARIA NATANAGARA (1761 - 1787). Yang penting di sini bahwa karya besar itu tidak dikendalikan dari rumah peristirahatan Buitenzorg, melainkan dari rumah bupati di Empang.
WARISAN NILAI BUDAYA

Di bagian awal telah diungkapkan, bahwa Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang disebut GEMUH PAKUAN dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di kawasannya.

Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.

Negara yang banyak penduduknya disebut negara yang GEMAH RIPAH. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan LOH JINAWI. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk SUNGAI GANGGA di India. Jadi arti utuh dari GEMAH-RIPAH LOH JINAWI adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.

Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "NILAI BUDAYA".

Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA (untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR SAGARA WULAN (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.

Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)

Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa). Dituturkan umpamnya (artinya saja)
"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena
menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar
kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang
baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya"

[Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila]

2. Tapa di Nagara

Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang dan lain-lain. Lalu dijelaskan "Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara terancam musuh

3. Panca parisuda

Panca parisuda mengandung arti LIMA OBAT PENAWAR. Ini kaitannya dengan sikap menerima CELAAN atau KRITIK. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih" (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu) Anggaplah:
- ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
- ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
- ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
- ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun)

Dengan sikap seperti itu dikatakannya
"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing)
[Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena
kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi
kita akan menjadi makin kukuh dan tajam]

"lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)

4. Hidup yang penuh berkah

Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam
rumah tangga harus
- cermat (emet)
- teliti (imeut)
- rajin (rajeun)
- tekun (leukeun)
- cukup sandang (paka predana)
- bersemangat (morogol-rogol)
- berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
- bijaksana (widagda)
- berani berkurban (hapitan)
- dermawan (waleya)
- gesit (cangcingan)
- cekatan (langsitan)

Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.

"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang kajongjonan"

(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita berlebihan)

5. Parigeuing dan dasa pasanta

Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri"geuing), yaitu
GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.

Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan"
(bisa makan dan minum dalam kesenangan)
Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana"
(bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)
Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana hanteu surah nu dipiwarang"
(bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)

Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
1. bijaksana (guna)
2. ramah (rama)
3. sayang (hook)
4. memikat (pesok)
5. kasih (asih)
6. iba hati (karunya)
7. membujuk (mupreruk)
8. memuji (ngulas)
9. membesarkan hati (nyecep)
10. mengambil hati (ngala angen)

Tujuan dari hal di atas adalah

"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang"
(agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)

Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.


6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu
- RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),
- RESI (Ulama atau pendeta)
- PRABU (raja, pemegang kekuasaan)

Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)

Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan
"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu"
(urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).

Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya

"haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam"

(jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)

Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di KANEKES. Orang BADUY menyebutnya TANGTU TELU (tritangtu). Ketiga orang PUUN di Kanekes masing-masing menempati posisi Resi (Puun CIKERTAWANA), Rama (Puun CIKEUSIK) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.

Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai "perudang-undangan" pada jamannya.

Bagian akhir naskah Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur "hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan)

Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oelh penulis Carita Parahiyangan "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini)]

Itulah beberapa warisan nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarang
pun tampaknya masih bisa dimanfaatkan sebagai SEUWEU-SIWI SILIWANGI.

HARI JADI BOGOR

1. Tanggal yang menjadi acuan

Hari jadi, dalam kaitan apapun juga, menyangkut identitas. Salah satu identitas Bogor yang cukup dominan di Jawa Barat adalah latar belakang sejarahnya karena di Bogor inilah terletak Ibukota Pajajaran dan di sinipula Siliwangi pernah hidup dan memerintah. Dua serangkai ini, PAJAJARAN dan SILIWANGI, merupakan salah satu kebanggan masyarakat Jawa Barat. Wajar sekali bila Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor sepakat mengambil titik awal identitasnya dari dua serangkai ini.

Telah diungkapkan bahwa Jaman Pajajaran dimulai dengan pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Sri Baduga mulai memerintah tahun 1482 dan berlangsung selama 39 tahun. Sejak dia memerintah Pakuan dijadikan ibukota kerajaan menggantikan Kawali. PERISTIWA KEPINDAHAN itulah yang dijadikan titik tolak perhitungan HARI JADI BOGOR. Hubungan antara Bogor dengan peristiwa masa lalu sebenarnya tidak sulit dicari karena sejak lama disadari oleh orang-orang tua. Entje Madjid salah satunya (tokoh seni awal abad ke-20) sudah lama mencetuskan lirik "Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina kasilih jenengan, kiwari dayeuhnya Bogor" (Pajajaran peninggalan Siliwangi, namanya semerbak mewangi, kini kotanya Bogor) Jadi beliau telah mengambil kesimpulan bahwa DAYEUH BOGOR adalah pengganti DAYEUH PAJAJARAN.

Pengambilan angka tahun 1482 berpijak pada telaah sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun itu sebagai awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Untuk bulan dan tanggal rupanya harus ditelusuri dari sumber sejarah dengan berpijak pada Upacara Tradisional dengan nama GURUBUMI dan KUWERABAKTI karena sumber-sumber sejarah itu tidak menuliskan secara eksplisit mengenai bulan dan tanggalnya. Berikut adalah penjelasan mengenai Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti:

Dalam Lakon NGAHIYANGNA PAJAJARAN dikisahkan, bahwa di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahun. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan raja-raja daerah. Upacara itu dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari dan kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama.

Kisah dari Pantun ini didukung oleh sumber lainnya, misalnya Kropak 406 yang memberitakan bahwa raja-raja daerah harus datang menghadap ke Pakuan setiap tahun. Diantara barang antaran yang dibawa raja-raja daerah, ikut serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu). Jadi dalam waktu perayaan yang 9 hari itu, kegiatan berburu juga dilakukan. Tome Pires menyebutkan, bahwa "the king is great sportman and hunter" (Raja adalah olahragawan dan pemburu yang ulung).

Fakta lain yang mendukung adalah upacara Gurubumi ini masih biasa dilakukan di daerah PAKIDULAN (bagian selatan Banten dan Sukabumi). Mengenai Kuwerabakti, para sesepuh di SIRNARESMI mengemukakan bahwa upacara itu hanya dilakukan di dayeuh. Meskipun Sirnaresmi ini terletak di Kecamatan Cisolok - Sukabumi, yang dimaksud dayeuh di sini adalah Bogor karena upacara Kuwerabakti ini dulu hanya dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum adat Sirnaresmi adalah keturunan para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten.

Dari cerita terdahulu digambarkan bahwa latar belakang KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAJAJARAN adalah PERTANIAN LADANG. Di Jawa Barat, Masyarakat Ladang murni hanya tinggal Masyarakat BADUY di Kanekes (Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini, yang berkaitan dengan Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti adalah SIKLUS PERTANIANNYA, terutama menyangkut musim panennya. Kalender Pertanian Masyarakat Baduy sejalan dengan PRANATAMANGSA yang pada masa lalu juga digunakan oleh masyarakat tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Perbedaan usia bulan memang ada, tetapi jumlah hari dalam setahun tetap sama, yaitu 365 hari. Kedua kalender itu pun berpedoman kepada BENTANG WULUKU (bentang=bintang). [Di Kanekes dan Kiarapandak (Cigudek), Bentang Waluku ini masih disebut Bentang Kidang (Sunda)] Gugus bintang ini terletak pada rasi Orion. Kadang-kadang juga digunakan gugus bintang tetangganya, yaitu Kereti (Kartika atau Pleyades) yang terdapat pada rasi Taurus. Pengamatan astronomi traditional ini bertujuan untuk mengamati musim, sebab baik diladang maupun di sawah, musim tanam padi harus pada MUSIM LABUH (Sunda: Dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang jatuh pada minggu ketiga bulan September. Musim panen jatuh pada bulan Maret karena usia padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis HAWARA yang usinya lebih pendek. [Kalender Baduy diawali dengan KAPAT atau SAPAR. Upacara musim panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara KAWALU. Upacara pergantian tahun (NGALAKSA) diadakan 3 hari sebelum tahun berganti. Upacara Kawalu jatuh pada bulan Maret, sedangkan Upacara Ngalaksa di adakan Bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada bulan Juni]

Dari uraian Pantun di atas diperkirakan bahwa untuk tahun 1482, Upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2 Juni, malam 3 Juni. Tanggal 3 Juni 1482 inilah secara resmi kegiatan upacara selama 9 hari di Ibukota itu berakhir. [Upacara Gurubumi yang di adakan 49 hari setelah panen dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan mengadakan upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke ibukota. Seperti contohnya yang masih terjadi di Kanekes. Upacara di daerah itu jatuh pada sekitar bulan Maret]

Yang menjadi titik perhatian dalam masalah ini adalah mulai berfungsinya kembali Pakuan sebagai pusat pemerintahan. Wajar sekali bila peristiwa itu dirayakan dan disyukuri yang bersamaan dengan memberikan pengumuman kepada raja-raja daerah bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan ada di Pakuan. [Dalam naskah Wangsakerta yang mengandung nilai sejarah lebih tinggi dibanding naskah-naskah tradisional diberitakan, bahwa waktu itu Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa hari menempati kedatuan Sri Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penobatan Sri Baduga Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi pada bulan Maret/April tahun 1482. Perayaan besar dan peresmian Pakuan menjadi pusat pemetintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti terdekat. Untuk 1482, upacara dimulai tanggal 25 Mei dan ditutup 9 hari kemudian]

SEKITAR HARI JADI BOGOR

2. Bogor sebagai alur kehidupan

Topografi Pakuan dibentuk oleh dua sungai, yaitu Cisadane dan Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua sungai itu selalu disebut dalam rajah pantun. [Sisipan ha pada Cihaliwung hanyalah melengkapi suku kata menjadi 8 buah untuk kepentingan matra. Oleh karena itu tak perlu disalah tafsirkan dengan selokan kecil Cihaliwung pada alur Cikahuripan di belakang Pajaratan Embah Dalem di Batutulis] Kelenkapan alami di Pakuan ini disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan saluran yang menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. [Karya besar ini tidak kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang membentang sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai Station Batutulis] Pembangunan saluran buatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih dibangun. Akan tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari sisi lainnya. Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu PERKAWINAN ALUR HIDUP. Ia mengartikan kejadian itu dengan "Ngadanikeun nu laliwung" (menyadarkan yang pada bingung). [Menurut dia, DANE atau DANI artinya sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna dengan putih. Sedangkan LIWUNG diartikan bingung atau kusut pikiran, arti kiasannya keruh, kusam yang sewarna dengan hitam] Pandangan orang tua ini sejalan dengan pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua. Misalnya JASAD yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu) dan JIWA yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi). Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang airnya dipadukan melalui alur Cipakancilan, menurut Pak Cilong.

[Sejalan dengan hal di atas, ada kenyataan ganjil pada cara berpakain orang Baduy di Kanekes. Tumbuhan tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah ini. Akan tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan ORANG KAJEROAN tetap berikat kepala putih, sedangkan ORANG PANAMPING berikat kepala biru kehitaman (karena dicelup dengan tarum atau nila?). Tentu saja kenyataan seperti ini bukan hanya masalah teknis.

Sundapura (Kota Sunda) adalah ibukota kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda (menurut Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan dengan arti dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nilai yaitu warna antara biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung]

Brigjen Polisi Purnawarman R. GOJALI SURIAAMIJAYA dan Alm. Dadang Ibnu (salah satu pembantu Oto Iskandardinata) dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang Galuh adalah HARIMAU KUMBANG, sedangkan lambang Pajajaran adalah HARIMAU PUTIH. Di sini yang ditonjolkan bukan harimaunya, melainkan warnanya, yaitu warnah putih dan kumbang (warna antara biru dengan hitam). Jadi pola ini menunjukkan hal sama dengan pola sebelumnya. [Orang Pulau Jawa menyadap kata WYAGHRA dari bahasa Sangsakerta yang mengandung arti HARIMAU atau PAHLAWAN. Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, dikisahkan bahwa Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu dijuluki WYAGHRA NING TARUMANAGARA atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada tradisi yang mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan. Ki Buyut Rambeng dalam lakon DADAPMALANG menggunakan sebutan MAUNG SELANG untuk para senapati Pajajaran. Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang (menurut Coolsma, "tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau dengan bulu dasar hitam bergaris merah)]

Patung Harimau peninggalan masa silam belum ditemukan, tetapi agama Budha memperkenalkan patung singa pengawal seperti tampak di pelataran Candi Borobudur. Singa adalah lambang Sidharta Gautama yang sebeum menjalanai kehidupan sebagai Budha menjadi pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria Sakyasimha (singa bangsa Sakya). Ikonografi di Borobudur menampilkan patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada kedua kaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada. Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat.

Masyarakat traditional di Jawa Barat pada tahun 1930-an selalu membuat tabungan (cengcelengan) berbentuk harimau dengan sikap duduk seperti singa-pengawal di Borobudur itu. Hal ini tentu saja diwarisinya turun-temurun. Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung harimau di depan Balai Kota Bogor.

Pertanyaannya sekarang adalah, adakah sebenarnya harimau yang berwana putih? Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang Anoman. Pernahkan pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai, bersayap 17 helai dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang jelas ada dalam MITOS dan LEGENDA atau KISAH ORANG-ORANG TUA. Tapi bila kita sanksikan bagaimana kisah kepergian Surawisesa atas perintah ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam lakon pantun digubah menjadi kepergian Mundinglaya Dikusuma ke Kahiyangan mencari Lalayang Salakadomas, dan tokoh Alfonso d'Albuquerque digantikkan posisinya oleh tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa kisah-kisah ajaib seperti itu bernilai simbolik dan menyembunyikan sesuatu kenyataan. Tidak mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan harimau putih itu juga melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara (tarum=nila=hitam) dengan Sunda (putih)?.

Terlepas dari itu semua, orang sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau putih hanyalah hiasan yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moral sebagai bagian warga negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed" (kata Tome Pires) patut kita buktikan, minimal di sebagian kecil bekas ibukotanya.

Taruma-Sunda adalah identitas sejarah Bogor. Ciliwung-Cisadane menjadi identitas topografinya (waruga). Sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya, Kotamadya Bogor memiliki bendera pengenal yang berwarna TARUM dan PUTIH dengan lambang daerah di tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu dengan KOTAMADYA BOGOR DI ATAS LAHAN CILIWUNG DAN CISADANE.

Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu BUKAN UNTUK PARA PENGHUNINYA, melainkan TERDIRI ATAS PARA PENGHUNINYA.


Penutup

Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tak hana watang
hana ma tunggulnya aya tu catangnya

Ada dahulu ada sekarang
tak ada dahulu tak akan ada sekarang
ada masa silam ada masa kini
tidak ada masa silam tak akan ada masa kini
Ada tonggak ada batang
tak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggu tentu ada catangnya

Dengan untaian kata di atas yang tertulis pada Kropak 632 KABUYUTAN CIBURUY di LERENG GUNUNG SIKURAY (di tulis abad ke-13/14), maka berakhirlah kisah Dayeuh Bogor bagian pertama ini. Berhubung bagian dua-nya masih belum bisa diakses, maka sementara saya cukupkan dulu penulisan Sejarah Bogor ini. Saya yakin pada buku bagian 2 masih banyak nilai sejarah yang bisa kita petik hikmahnya.

Posting-posting yang telah saya kirim 100 % dirujuk dari buku karangan Saleh Danasasmita, meskipun dalam penyampaianya telah mengalami banyak perubahan dari sumber aslinya. Hal ini dilakukan karena saya pribadi menilai susunan paragrap dalam buku itu terkadang banyak melompat. Apa yang telah saya lakukan hanyalah pendapat pribadi saja dan menurut saya demikianlah runtutan kisah itu semestinya disajikan. Atas dasar ini, bila ada kekeliruan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan tentu saja saya persilahkan kepada anda sekalian untuk membaca sumber aslinya.

Terakhir saya masih ingin menyampaikan untaian kata yang ditulis oleh Pak Saleh Danasasmita dalam buku itu sebagai bahan renungan:
Hidup adalah jalinan antara manusia, ruang dan waktu. Manusia senantiasa akan berganti, ruang selalu berubah wujud dan waktu tak pernah berhenti. Itulah panggung kehidupan kita. Sejarah hanyalah sekelumit upaya manusia untuk mengenal dirinya melalui tangga waktu: dari mana dia datang, di mana dia berada dan ke mana dia akan menuju. Apa ang kita warisi, apa yang kita buat dan kita pakai, lalu apa yang akan kita wariskan.

"Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah" untuk maju setapak kita memerlukan pengalaman satu langkah lebih dulu Tanpa membina diri terus-menerus, kita akan kehabisan bekal. Demikianlah ujar pepatah para leluhur.

Selesai bagian 1...menunggu terbitnya bagian 2

Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor



Tidak ada komentar: